Senin, 23 Juni 2014

Tugas Bahasa Kutipan Langsung

Nama  : Wiji Sri Rahayu
NPM   : 1A113300
Kelas  : 4KA41




Akal budi

Akalbudi manusia adalah sarana untuk bertahan hidup dan berketurunan, dan nalar cuma salah satu di antara beberapa tekniknya. –Edward O. Wilson

Sementara bernalar terjadi dalam otak, ia terjadi juga dalam akalbudi (mind). Dimanakah akalbudi hidup dalam ruang dan waktu? Bagaimana gerangan akalbudi berinteraksi dengan otak dan sebaliknya? apakah hewan punya akalbudi?

Akalbudi merupakan dunia batin (inside world) kita, dimana kita mengalami pergolakan pikiran dan emosi, dimana kita memahami (perceive), mempercayai, dan mengenang, dan dimana kita membentuk citra tentang dunia luar.

Mungkin kita mengira memahami akalbudi lebih baik daripada semua yang lain, cuma karena akalbudi bersifat sangat pribadi. Tapi perkiraan itu meleset jauh, karena akalbudi adalah salah satu rahasia paling besar dalam diri kita. Mengusahakan agar akal budi menjelaskan kodratnya sama dengan meminta mata memeriksa diri sendiri-banyak kesulitannya. Untuk memeriksa akalbudi, pertanyaan pertama yang kita akan ajukan terhitung paling tua. Bagaimanakah akalbudi terkait ke tubuh?

Masalah Akalbudi-Tubuh

Hubungan antara akalbudi dan tubuh atau yang dikenal sebagai masalah akalbudi-tubuh (the mind-body problem) telah mengharu biru para pemikir selama ribuan tahun, dan perdebatan itu masih berlanjut. Banyak bidang ilmu telah mencoba menemukan jawaban-teologi, filsafat, dan lebih belakangan, psikologi, fisiologi, dan neurologi. Mungkin perbincangan yang paling bagus mengenai pokok masalah ini adalah yang terjadi antara socratres dan teman-temannya malam menjelang ia dipaksa minum racun sebagai hukuman mati. Plato mencatat perbincangan itu dalamPhaedo :

             Seseorang bisa jadi penopang semangat bagi jiwanya (his soul) sendiri, jika ia, yang telah menjauhkan serba kenikmatan badan dan perhiasan tubuh sebagai hal yang asing baginya dan yang lebih mendatangkan mudarat daripada manfaat, telah berusaha mendapatkan kenikmatan dari ilmu ; dan yang tidak mendandani jiwanya dengan pernik-pernik asing, melainkan dengan permata kepribadianya, keugaharian, dan keadilan, dan keberanian, dan kemuliaan budi, dan kebenaran (1).

Socrates percaya bahwa kita paling mungkin mendapatkan jiwa kekal yang sehat jika kita mengabdikan hidup kita pada filsafat.
            Istilah itu (jiwa VS akalbudi) telah berubah bersama dengan jalannya waktu. Phaedo menunjukkan betapa sulit memastikan apakah suatu argumen tentang akalbudi telah sampai pada kesimpulan. Bagaimana kita memastikan apakah menerima argumen socrates?  A.J. Ayer menulis : 

Patokan yang kita gunakan untuk menguji kebenaran pada apa yang tampak sebagai pernyataan fakta adalah verifiabilitas. Kita bilang bahwa suatu kalimat bermakna sebagai fakta bagi seseorang, jika dan hanya jika ia tahu caranya melakukan verifikasi terhadap proposisi yang dimaksudkan untuk diungkapkan-artinya, jika seseorang itu tahu pengamatan apa yang memungkinkannya, dengan syarat-syarat tertentu, menerima proposisi itu sebagai sesuatu yang benar, atau menolaknya sebagai sesuatu yang salah (2).

          Patokan setinggi itu tidak terjangkau bila seseorang menghadapi masalah akalbudi-tubuh. Tapi daripada menyerah begitu saja, kita bisa menerapkan sikap filsuf lain, J.L. Austin, yang menyarankan bahwa  “Patokan sekadarnya”   cukup  “Jika Anda bisa membuat sekumpulan sejawat yang agak gemar berdebat menyepakati sesuatu setelah mereka bersoal-jawab” (3). Tapi bahkan hal itu amat sulit bila berurusan dengan persoalan akalbudi.
Socrates sangat condong pada pendapat bahwa jiwa berbeda dari badan, yang ditegaskannya dalam Phaedo :

“Maka cobalah pikir, Cebes, apakah ini kesimpulan yang bisa kita tarik dari semua yang sudah dikatakan : jiwa sangat mirip dengan yang ilahi, kekal, terpahami, khas, tak habis, tak berubah, dan tetap pada dirinya : sedangkan badan, sangat mirip dengan yang manusiawi, fana, beragam, tak terpahami, habis dan tak pernah tetap pada dirinya. Adakah yang bisa diluruskan wahai Cebes, untuk menunjukkan bahwa kesimpulan ini keliru?” “Tidak ada” (1).

Inti argumen socrates adalah : (1) Jiwa punya ciri-ciri yang berbeda dari badan, maka jiwa merupakan sesuatu yang terpisah ; (2) Karena jiwa merupakan sesuatu yang terpisah, keberadaaanya tidak pernah berakhir dengan matinya badan.



Sumber :
Calne, B Donald. Translated by Parakitri T.Simbolon. Batas Nalar (Within Reason). Jakarta ; KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). 2004.
Plato. Phaedo. Translated by G.M.A. Grube, Indianapolis: Hackett, 1992.
 A.J. Ayer. Language, Truth and Logic. London : Gollancz, 1936.
A.J. Warnock. “Saturday Mornings”. In Essays on J.L. Austin. Oxford : Clarendon Press, 1973.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar