Nama : Wiji Sri Rahayu
NPM : 1A113300
Kelas : 4KA41
Akal budi
Akalbudi manusia adalah sarana
untuk bertahan hidup dan berketurunan, dan nalar cuma salah satu di antara
beberapa tekniknya. –Edward O. Wilson
Sementara bernalar terjadi dalam otak, ia terjadi juga dalam akalbudi
(mind). Dimanakah akalbudi hidup dalam ruang dan waktu? Bagaimana gerangan
akalbudi berinteraksi dengan otak dan sebaliknya? apakah hewan punya akalbudi?
Akalbudi merupakan dunia batin (inside world) kita, dimana kita
mengalami pergolakan pikiran dan emosi, dimana kita memahami (perceive),
mempercayai, dan mengenang, dan dimana kita membentuk citra tentang dunia luar.
Mungkin kita mengira memahami akalbudi lebih baik daripada semua yang
lain, cuma karena akalbudi bersifat sangat pribadi. Tapi perkiraan itu meleset
jauh, karena akalbudi adalah salah satu rahasia paling besar dalam diri kita.
Mengusahakan agar akal budi menjelaskan kodratnya sama dengan meminta mata
memeriksa diri sendiri-banyak kesulitannya. Untuk memeriksa akalbudi,
pertanyaan pertama yang kita akan ajukan terhitung paling tua. Bagaimanakah
akalbudi terkait ke tubuh?
Masalah Akalbudi-Tubuh
Hubungan antara akalbudi dan tubuh atau yang dikenal sebagai masalah
akalbudi-tubuh (the mind-body problem) telah mengharu biru para pemikir selama
ribuan tahun, dan perdebatan itu masih berlanjut. Banyak bidang ilmu telah
mencoba menemukan jawaban-teologi, filsafat, dan lebih belakangan, psikologi,
fisiologi, dan neurologi. Mungkin perbincangan yang paling bagus mengenai pokok
masalah ini adalah yang terjadi antara socratres dan teman-temannya malam
menjelang ia dipaksa minum racun sebagai hukuman mati. Plato mencatat
perbincangan itu dalamPhaedo :
Seseorang
bisa jadi penopang semangat bagi jiwanya (his soul) sendiri, jika ia, yang
telah menjauhkan serba kenikmatan badan dan perhiasan tubuh sebagai hal yang
asing baginya dan yang lebih mendatangkan mudarat daripada manfaat, telah
berusaha mendapatkan kenikmatan dari ilmu ; dan yang tidak mendandani jiwanya
dengan pernik-pernik asing, melainkan dengan permata kepribadianya,
keugaharian, dan keadilan, dan keberanian, dan kemuliaan budi, dan kebenaran (1).
Socrates percaya bahwa kita paling mungkin mendapatkan jiwa kekal yang
sehat jika kita mengabdikan hidup kita pada filsafat.
Istilah
itu (jiwa VS akalbudi) telah berubah bersama dengan jalannya waktu. Phaedo
menunjukkan betapa sulit memastikan apakah suatu argumen tentang akalbudi telah
sampai pada kesimpulan. Bagaimana kita memastikan apakah menerima argumen
socrates? A.J. Ayer menulis :
Patokan
yang kita gunakan untuk menguji kebenaran pada apa yang tampak sebagai
pernyataan fakta adalah verifiabilitas. Kita bilang bahwa suatu kalimat
bermakna sebagai fakta bagi seseorang, jika dan hanya jika ia tahu caranya
melakukan verifikasi terhadap proposisi yang dimaksudkan untuk
diungkapkan-artinya, jika seseorang itu tahu pengamatan apa yang
memungkinkannya, dengan syarat-syarat tertentu, menerima proposisi itu sebagai
sesuatu yang benar, atau menolaknya sebagai sesuatu yang salah (2).
Patokan setinggi
itu tidak terjangkau bila seseorang menghadapi masalah akalbudi-tubuh. Tapi
daripada menyerah begitu saja, kita bisa menerapkan sikap filsuf lain, J.L.
Austin, yang menyarankan bahwa “Patokan sekadarnya” cukup “Jika
Anda bisa membuat sekumpulan sejawat yang agak gemar berdebat menyepakati
sesuatu setelah mereka bersoal-jawab” (3). Tapi bahkan hal itu
amat sulit bila berurusan dengan persoalan akalbudi.
Socrates sangat condong pada pendapat bahwa jiwa berbeda dari badan,
yang ditegaskannya dalam Phaedo :
“Maka
cobalah pikir, Cebes, apakah ini kesimpulan yang bisa kita tarik dari semua
yang sudah dikatakan : jiwa sangat mirip dengan yang ilahi, kekal, terpahami,
khas, tak habis, tak berubah, dan tetap pada dirinya : sedangkan badan, sangat
mirip dengan yang manusiawi, fana, beragam, tak terpahami, habis dan tak pernah
tetap pada dirinya. Adakah yang bisa diluruskan wahai Cebes, untuk menunjukkan
bahwa kesimpulan ini keliru?” “Tidak ada” (1).
Inti argumen socrates adalah : (1) Jiwa punya ciri-ciri yang berbeda
dari badan, maka jiwa merupakan sesuatu yang terpisah ; (2) Karena jiwa
merupakan sesuatu yang terpisah, keberadaaanya tidak pernah berakhir dengan
matinya badan.
Sumber :
Calne, B Donald.
Translated by Parakitri T.Simbolon. Batas
Nalar (Within Reason). Jakarta ;
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). 2004.
Plato. Phaedo. Translated
by G.M.A. Grube, Indianapolis: Hackett, 1992.
A.J.
Ayer. Language, Truth and Logic. London : Gollancz, 1936.
A.J.
Warnock. “Saturday Mornings”. In Essays on J.L. Austin. Oxford :
Clarendon Press, 1973.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar